Senin, 02 September 2019

GUNUNG MANGGAR

Saya dibesarkan di suatu desa dekat sebuah gunung. Gunung Manggar namanya. Gunung ini hanya berjarak sekitar 1 km dari rumah saya. Tidak terlalu jauh, sehingga dulu waktu masih kecil, saya sering bermain main ke sana. Entah itu sekedar menyusuri jalanan setapak di seputaran hutan, atau mencari kayu kecil untuk dibuat tongkat pramuka. Beberapa kali saya dengan beberapa teman naik gunung dengan bekal nasi dan lauk sekedarnya, untuk dimasak di tengah hutan.


Gunung Manggar dilihat dari kejauhan

Pernah juga sesekali gunung Manggar menjadi lokasi latihan tempur ABRI dari Batalyon Artileri Medan 8 Jember atau Yonif 515/9 Kostrad Tanggul. Berbagai simulasi tempur diperagakan. Mulai dari taktik serangan gerilya, latihan penembak runduk, kamuflase, atau bahkan serangan mortir. Sebagai anak kecil, saya sangat senang bisa melihat semua latihan itu. Rasanya sangat menakjubkan melihat artileri M-48 kaliber 76 mm dari Yon Armed 8 Ambulu menggelegar dan menghancurkan sasaran di punggung gunung disana. Tak lupa aku mengumpulkan sisa sisa selongsong peluru dan membawanya pulang sebagai souvenir. Jika sudah terkumpul banyak, selongsong bekas itu saya rangkai sehingga mirip peluru senapan mesin.

Meriam M-48 Kaliber 76 mm buatan Yogslavia
Semua itu terjadi puluhan tahun yang lalu. Sekitar tahun ’80-an. Waktu itu kondisi gunung Manggar masih rimbun, lebat dengan pepohonan yang rapat. Masih jamak terlihat orang-orang pergi ke gunung untuk mencari kayu bakar/rencek. Biasanya kayu tersebut dibelah dan dibawa ke pasar untuk dijual. Cara membawanya bisa dengan sepeda, atau dipikul langsung dari hutan ke pasar untuk ditukar dengan beberapa ribu rupiah saja.

Daun daun jati yang masih hijau di pohon juga banyak dicari orang. Biasanya dipakai buat bungkus. Entah itu untuk membungkus barang-barang yang dijual di pasar, atau malah dipakai untuk membungkus nasi. Di kalangan masyarakat desa, masih sering ditemui nasi dan makanan di bungkus dengan daun jati. Jika nasinya masih hangat dan dibungkus dengan daun jati, biasanya nasi akan berwarna kemerahan. Bagi orang yang punya hajat (menikah/khitanan), daun jati dipakai untuk membungkus makanan yang diantar ke tetangga.

Nasi berbungkus daun jati
Lalu terjadilah era reformasi, di tahun 1998. Atas nama kebebasan, maka pohon-pohon jati yang tumbuh subur ditebang habis. Hanya dalam hitungan bulan, gunung Manggar yang tadinya rimbun  berubah menjadi gundul. Gersang dan meranggas. Orang-orang seolah menjadi gila, dan tidak lagi memperdulikan dampaknya bagi masa depan. Pihak perhutani dan pemerintah daerah seolah tak kuasa mencegah nafsu beringas orang-orang untuk menjarah kayu-kayu di hutan.

Selama beberapa tahun, gunung Manggar terlihat tandus dan gundul.

Awal tahun 2000-an, gunung Manggar kembali ditanami. Berbagai gerakan penghijauan dan penanaman kembali digiatkan dimana mana. Pelan tapi pasti, gunung Manggar mulai menghijau dan kembali seperti semula.

Dan tadi pagi (17/4/2016), saya sengaja naik gunung Manggar untuk napak tilas. Mencari tahu apa saja yang telah berubah, dan mengorek kembali kenangan masa kecil di tempat yang dulu sangat menyenangkan tersebut.
Derasnya air di dam Misri, kaki gunung Manggar
Dan surprise! Saya nyaris tidak mengenali lagi tempat-tempat yang dulu akrab dengan keseharian masa kecil saya. Belum lagi jauh saya masuk hutan, kerimbunan pohon dan lebatnya hutan telah merubah orientasi saya. Dimana tempat yang dulu biasa saya datangi? Ah…sudahlah! Saya cukup senang hutan ini bisa kembali lebat seperti dulu.

Di tengah hutan, saya bertemu dengan seorang tua yang berjalan kaki dengan sabit di tangannya. Namanya pak Suradi, demikian dia mengenalkan diri. Dia mengenal seluk beluk hutan gunung Manggar ini seperti dia mengenal rumahnya sendiri.
Pak Suradi
Menurut Pak Suradi, sekarang ini sudah jarang orang mencari kayu di hutan. Bukan semata karena hal tersebut dilarang, tapi lebih karena sudah jarang orang memasak dengan kayu bakar.  Hampir semua penduduk desa telah menggunakan kompor gas.

Demikian juga dengan daun jati, fungsinya telah diambil alih oleh kertas minyak untuk membungkus makanan.

Akibat sampingan yang terjadi, satwa penghuni hutan cukup banyak berkembang biak. Mulai dari babi hutan, kijang, landak, biawak, ayam hutan, kera, dan sebagainya. Sedangkan macan dan ular besar, pak Suradi belum pernah menemuinya.

Akibat sampingan tersebut memang bisa berkonotasi negatif atau positif, tergantung dari sisi mana kita memandangnya.

Babi hutan misalnya, kata Pak Suradi, dalam semalam bisa dengan mudah mengacak acak tanaman di tegal. Karena itu, di kalangan penduduk sekitar gunung, babi hutan lebih dipandang sebagai hama yang harus dibasmi. Namun, pak Suradi melanjutkan, berburu babi hutan harus hati-hati, karena binatang tersebut dikenal berani menyerang manusia. Jika sudah terpojok, tidak segan-segan binatang itu berbalik dan melawan sejadi-jadinya.

Jika babi hutan sudah kena jerat, kata Pak Suradi, maka harus segera ditombak tepat di jantungnya. Dengan demikian, babi hutan akan segera mati dan tidak lagi membahayakan.
Jalan setapak sebelum memasuki hutan gunung Manggar, didominasi tanaman lombok dan jeruk
Pak Suradi juga sering berburu kijang, yang masih banyak berkeliaran di hutan. Cara yang umum dipakai adalah dengan memasang jerat memakai sling bekas jari-jari sepeda. Untuk membuat jeratan, terlebih dahulu dibuat lobang di tanah, lalu ditutup dengan dedaunan. Kijang yang tertarik dengan umpan biasanya akan mendekat, dan terjebak di lobang dengan kaki terjerat.

Meski sudah terjerat, kijang masih bisa melawan dengan cara menendang. Kaki belakang kijang sangat berbahaya dan masih bisa menimbulkan luka yang serius. Oleh karena itu, menangkap kijang yang terjerat harus dari arah depan, dan memegang erat kepalanya.

Dalam beberapa kasus, kijang bisa turun gunung dan masuk perkampungan. Saya masih ingat, dulu pernah ada kijang yang tersesat masuk perkampungan penduduk. Penduduk yang heboh segera mengejar dan mengepung binatang itu. Setelah dikejar kesana kemari, akhirnya binatang itu tersudut di dapur sebuah rumah. Dalam waktu sekejab, kijang yang malang itu pun habis dijarah bagian tubuhnya. Ada yang mendapat kaki belakang, segenggam daging paha, jeroan, kepala, namun banyak juga yang tak mendapat apa-apa. Malangnya, pemilik rumah yang lari ketakutan saat binatang itu masuk rumahnya termasuk mereka yang tidak kebagian apa-apa.

Menurut pak Suradi, harga daging kijang memang tidak semahal daging sapi. Misalnya pas lebaran kemarin, pak Suradi pernah menjual beberapa kilo daging kijang, dengan harga 25 ribu rupiah per kilonya. Bagi penduduk desa, daging kijang adalah alternatif yang lebih terjangkau dibanding daging sapi.

Saya sendiri pernah memakan daging kijang, hasil buruan penduduk sekitar. Rasanya memang tidak segurih daging sapi, tapi cukup enak. Hampir seluruh dagingnya adalah otot kenyal, karena memang daging kijang nyaris tidak ada lemaknya. Biasanya ibu memasak dengan dibuat dendeng.
Jembatan sesek dari bambu, pintu masuk ke hutan gunung Manggar
Pagi itu pak Suradi berencana melihat jebakan ayam hutan yang telah dipasangnya kemarin. Cara memasang jebakan cukup unik, dan butuh kesabaran ekstra. Biasanya tempat yang akan dipasang jebakan ditutupi dulu dengan jerami, dan ditaburi umpan. Entah itu beras atau jagung. Jika ayam hutan tertarik, maka binatang itu akan datang dan ceker ceker mencari makanan. Jika ayam hutan sudah merasa nyaman dengan tempat tersebut, maka beberapa hari kemudian jerat akan dipasang. Bentuknya bisa berupa jaring atau tali temali yang dipasang vertikal.

Jika ayam sudah dekat dengan jebakan, maka biasanya akan dikejutkan dengan teriakan dan dikejar dari arah yang tepat. Ayam hutan yang kaget akan melesat terbang ke arah jebakan, dan terjaring tak berdaya.

Buruan yang tak kalah berharganya adalah landak. Binatang eksotik ini menurut pak Suradi sangat berharga. Hampir seluruh bagian tubuhnya mempunyai nilai. Dari dagingnya, darah, bahkan duri durinya yang runcing berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit. Harga dagingnya sama dengan daging kijang, yaitu 25 ribu rupiah per kilonya.

Selain landak, binatang yang juga bisa dipakai untuk pengobatan adalah biawak. Binatang ini banyak yang memesan untuk mengobati beberapa jenis penyakit. Sayangnya pak Suradi belum sempat menjelaskan penyakit apa saja yang bisa disembuhkan dengan daging biawak, termasuk cara mencari binatang tersebut di hutan gunung Manggar.

Sayangnya, di bagian lain gunung Manggar belakangan marak dengan aktivitas tambang emas illegal. Ratusan orang yang matanya silau oleh butiran emas beramai ramai menggali tanah, mencari pasir yang kata orang mengandung emas. Lubang-lubang besar menganga, merusak ekosistem dan lingkungan hutan gunung Manggar yang mulai tumbuh kembali. Sangat disayangkan jika hanya karena butiran emas, maka gunung Manggar akan rusak.


Dalam pekembangannya, beberapa orang mengklaim telah menemukan beberapa gram emas. Namun ini harus ditebus dengan harga mahal dan nyaris tak masuk akal. Misalnya, tetangga desaku yang membawa pulang beberapa kuintal tanah dan disaring di rumah, hanya mendapat beberapa butir emas yang dihargai tak lebih dari 200 ribu. Belum lagi resiko runtuhnya lubang lubang gua, yang berakibat tewasnya para penggali yang terjebak di dalamnya. Entah sudah berapa orang yang meninggal karena ambisi emasnya yang tak tertahan.
--------------------------------------------------

Untungnya, saat ini tambang emas di gunung Manggar sudah dilarang. Pihak kepolisian dari Polres Jember dan Polsek Ambulu dan Wuluhan, bersama sama dengan pihak Perhutani telah dengan tegas melarang aktivitas tambang emas dan menyatakan sebagai kegiatan illegal.

0 komentar:

Posting Komentar